Sukses Menjual: Efisiensi Lawan Efektivitas


Anda sudah mendengar bahwa "efisiensi" artinya melakukan segala hal dengan benar; "efektivitas" adalah melakukan segala hal yang benar.

Salah seorang yang paling efektif dan efisien yang saya kenal adalah Dave Liniger, pendiri Re/Max Realtors. Dia menciptakan suasana yang mendorong orang-orang di sekelilingnya memanfaatkan sebanyak-banyaknya waktu dan diri mereka.

Dave mendapatkan bahwa 47 persen dari seratus puncak produser Re/Max punya asisten pribadi yang menangani beberapa tanggung jawab "bukan menjual." "Pembantu" ini terlibat dalam kegiatan seperti memasang dan menurunkan tanda "Dijual" dan "Laku" di halaman, menservis mobil, membuat hubungan telepon rutin, mengambil pakaian dari binatu, memasukkan surat ke kantor pos, dan menangani 1001 perincian yang makan waktu.

Mendelegasikan tugas bukan menjual membebaskan salesman profesional supaya bisa melewatkan waktu lebih banyak untuk mencari prospek dan bicara kepada klien, yang jauh lebih mungkin menuju ke penjualan lebih banyak lebih sering. Meningkatkan penjualan berarti menunjang ekonomi dan pendapatan karyawan Re/Max. Yang cukup menarik, sementara para produser puncak ini bekerja lebih lama setiap minggu dibandingkan dengan karyawan penjualan lainnya, mereka jauh lebih mungkin bisa mengambil liburan--sesering sampai enam minggu per tahun.

Kesimpulannya jelas: Semakin baik Anda menggunakan waktu Anda, semakin besar pendapatan yang akan Anda hasilkan; dan semakin besar pendapatan yang Anda hasilkan, semakin banyak waktu luang yang akan Anda miliki untuk keluarga Anda dan untuk melakukan perjalanan yang benar-benar menyenangkan. Singkatnya, orang penjualan dengan penghasilan tinggi bekerja lebih cerdik, tidak harus lebih keras, dan mereka menggunakan orang lain secara lebih efisien dan lebih efektif sehingga setiap orang menang!

-----
dari Buku Pegangan Lengkap Bagi Profesional Penjualan SUKSES MENJUAL - Zig Ziglar

Control Your Mind Control Your Health: Perasaan-Perasaan yang Memengaruhi Kesehatan


Saat ini sudah banyak buku yang memuat bukti bahwa pikiran dan hati yang sehat akan membantu penyembuhan penyakit yang kita derita. Di Amerika, rumah sakit yang terkenal sudah menyediakan ruang meditasi untuk membantu proses penyembuhan. Penulis buku "Emotional Intelligence", Daniel Goeman, mengumpulkan bukti-bukti penelitian ilmiah yang menunjukkan bahwa perasaan kita sangat memengaruhi kesehatan kita. Temuan baru dalam lima sampai sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa kondisi pikiran dapat memengaruhi kekuatan sistem kekebalan tubuh dan ketangguhan sistem kardiovaskular.

Kondisi perasaan yang menekan adalah amarah, permusuhan, depresi, kesedihan, mengasihi diri sendiri, rasa bersalah, putus asa, gugup, cemas, penyangkalan terhadap kecemasan,dan lain-lain. Sebaliknya, kondisi bermanfaat yang banyak diulas adalah ketenangan, optimisme, keyakinan, sukacita, kemurahan hati, dan kasih sayang.

Kekebalan tubuh tikus putih yang diberi perlakuan kejutan elektris (stressor) berulang kali semakin lama akan semakin berkurang. Ketika kekebalan tubuh mereka sudah berkurang sebesar 80 persen, tikus-tikus itu mulai mati akibat berbagai penyakit.

Riset tentang kondisi pikiran ini bukan hanya terhadap kekebalan tubuh, tetapi juga mencakup penyakit jantung dan penyakit lain yang tidak berhubungan dengan kekebalan tubuh, dan tampaknya, perasaan yang menekan juga dapat memengaruhi kesehatan secara umum.

Dr. John Barefoot dari University of North Carlolina menguji orang yang memperlihatkan gejala kemungkinan sakit jantung yang parah. Mereka menjalani prosedur untuk mengukur penyumbatan pembuluh darah utama, tingkat marah mereka diukur dengan ujian psikologi. Mereka ditanya beberapa hal psikologis, seperti seberapa sering membentak anak-anak. Hasilnya, kelompok orang yang tingkat amarahnya paling kecil mempunyai tingkat penyumbatan yang kecil pula.

Percobaan tentang dampak perasaan terhadap tingkat kematian juga dilakukan oleh Dr. Redford Williams dari Duke University. Percobaan ini mempelajari 2.000 pekerja pabrik yang kebetulan telah menjalani tes kira-kira 25 tahun sebelumnya. Tes yang dulu dilakukan adalah mencakup tingkat permusuhan mereka. Ada sekitar sepuluh persen perbedaan tingkat kematian di antara orang-orang dengan rasa permusuhan yang rendah dibandingkan dengan orang-orang dengan rasa permusuhan yang tinggi. Adapun mereka yang skornya tinggi dalam hal amarah banyak meninggal karena berbagai penyakit, seperti jantung, kanker, darah tinggi, dan penyakit lainnya, bahkan karena hal yang di luar kesehatan, seperti kecelakaan.

Dalam suatu studi yang dimulai pertengahan tahun 1950-an, sekelompok siswa kedokteran diuji dan dikelompokkan menjadi dua jenis sikap, yaitu yang bersikap bermusuhan dan yang tidak. Dua puluh lima tahun kemudian, Williams kembali melacak mereka; dari 136 orang yang bersikap tidak bermusuhan, hanya 3 orang yang telah meninggal. Sementara itu, dari kelompok yang bermusuhan, 16 orang telah meninggal. Menariknya, kebanyakan dari kematian mereka yang marah atau bermusuhan ini terjadi sebelum usia lima puluh tahun.

Hasil penelitian pada riset di Harvard Medical School juga membuktikan bahwa sifat amarah itu menyebabkan penderita mengalami sakit jantung dan kematian. Perasaan tunggal yang paling umum dalam dua jam sebelum serangan jantung yang berat adalah amarah. Ledakan amarah pada penderita jantung dapat menurunkan efisiensi pemompaan jantung sebesar 7%, bahkan lebih.

Dalam banyak studi dan riset mengenai para penderita jantung di Fakultas Kedokteran, Universitas Stanford dan Yale menunjukkan bahwa orang yang mudah marah tiga kali lipat lebih mungkin meninggal daripada pasien-pasien lain karena serangan jantung susulan dalam sepuluh tahun berikutnya.

Kondisi pikiran lain yang berdampak negatif terhadap kesehatan adalah depresi; termasuk perasaan sedih, mengasihani diri, dan berputus asa. Dalam studi terhadap wanita yang menderita kanker payudara, wanita-wanita yang paling depresi mempunyai natural killer cells--salah satu sistem pertahanan tubuh--paling sedikit. Selain itu, tumornya juga paling cepat menjalar (bermetastasis) ke seluruh tubuh.

Para psikiater di Mount Sinai Medical School di New York mengevaluasi tingkat depresi pada orang lanjut usia yang datang ke rumah sakit gangguan tulang pinggul yang retak dan tidak bisa berjalan. Mereka yang tidak depresi tiga kali lipat lebih mungkin berjalan lagi dibandingkan dengan mereka yang depresi dan memiliki kemungkinan untuk pulih ke tingkat kesehatan semula sampai sembilan kali lipat dibandingkan dengan yang depresi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa depresi tampaknya juga menghambat pemulihan tulang.

Dalam bukunya Daniel Goleman juga menuliskan bukti-bukti hasil penelitian bahwa kecemasan atau stres juga memperburuk kondisi kesehatan. Dalam suatu eksperimen, mereka mengurung lima ekor monyet jantan yang belum pernah bertemu satu sama lain. Kelompok monyet itu selalu memilih pemimpinnya dengan cara berkelahi. Jika sudah ada pemenangnya, semua monyet lain akan mengikuti perintah dan segalanya pun berjalan damai.

Setiap bulan para periset mengambil dua ekor monyet dan menggantinya dengan monyet yang baru. Ini berarti mereka harus berkelahi lagi untuk menentukan pemimpin baru. Periset melakukan hal tersebut secara terus-menerus selama satu tahun dan, sebagai pembanding, juga mengurung kelompok lima ekor monyet lain tanpa diganti-ganti. Setelah satu tahun, mereka menemukan bahwa monyet yang diganti-ganti tersumbat semua pembuluh arterinya. Bos monyet yang diganti-ganti mempunyai penyumbatan yang paling parah. Sementara bos monyet dari kelompok yang tidak diganti-ganti dan tidak perlu berkelahi paling baik keadaannya dan paling tidak tersumbat pembuluh arterinya.

Dampak kecemasan lain adalah studi terhadap orang-orang yang tinggal dekat reaktor nuklir di Three Mile Island. Walaupun aman dan tidak pernah terjadi kebocoran, orang-orang yang tinggal dekat reaktor cenderung cemas, khawatir, dan prihatin. Ketika sampel darah mereka diambil, ternyata darat  tersebut mengandung lebih sedikit sel T dan sel B daripada sampel darah orang-orang yang tinggal jauh dari reaktor tersebut. Jadi, ketakutan dan kekhawatiran tampaknya juga berdampak terhadap sisitem kekebalan tubuh.

Jika pikiran negatif cenderung menurunkan kualitas kesehatan, sebaliknya perasaan tenang dan pikiran yang baik cenderung meningkatkan kualitas kesehatan. Kebanyakan studi dilakukan terhadap orang-orang yang belajar rileks melalui meditasi.

Dr. Herbert Benson dari Universitas Harvard lagi-lagi menemukan bahwa respons relaksasi sangat baik bagi kesehatan. Studi terhadap mahasiswanya yang menghadapi ujian, tetapi sambil tetap menjalani meditasi setiap harinya, menunjukkan bahwa sel T dalam darahnya meningkat. Semakin sering dan konsisten mereka bermeditasi semakin kuat dampaknya.

Pikiran yang baik seperti kemurahan hati juga dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Dr. David McClelland di Harvard menyuruh beberapa orang untuk menonton film tentang ibu Teresa yang sedang merawat orang. Beberapa yang lain menonton tentang pembantaian Nazi di Jerman, yang membuat mereka marah. Saat diukur, ternyata kelompok yang menonton film ibu Teresa mengalami kenaikan sel T, dan kelompok satu lagi mengalami hal yang sebaliknya.

Masih banyak penelitian dan bukti bahwa apa yang kita pikirkan dan rasakan dapat memengaruhi  kualitas kesehatan kita. Jika kita terus mencari, akan kita dapatkan bukti-bukti ilmiah seperti yang kita inginkan. Oleh karena itu, janganlah cepat menilai bila ada hal-hal baru yang masih belum lazim. Jika kita bisa memilih di antara dua kemungkinan, mengapa kita tidak memilih apa yang membawa manfaat bagi kita? Mulai sekarang, marilah bersama-sama berpikir baik dan bertindak baik; semua untuk kepentingan kita sendiri.

-----
dari buku Control Your Mind, Control Your Health - Peter C. Kurniali dan Irianti Erningpraja

Zero To One: Manusia dan Mesin


Sementara industri-industri yang sudah matang mengalami stagnasi, teknologi informasi telah maju begitu pesat sehingga sekarang menjadi sinonim dengan "teknologi" itu sendiri. Sekarang, lebih dari 1,5 juta miliar orang menikmati akses instan ke pengetahuan dari seluruh dunia menggunakan peranti-peranti seukuran genggaman tangan. Semua smartphone zaman sekarang memiliki kemampuan pengolahan data ribuan kali lebih kuat daripada komputer yang dahulu memandu astronaut-astronaut ke bulan. Dan, jika hukum Moore terus bekerja dengan cepat, komputer-komputer masa mendatang akan memiliki kemampuan yang bahkan lebih dahsyat lagi.

Komputer sudah memiliki kemampuan yang cukup untuk mengalahkan manusia dalam kegiatan-kegiatan yang kita anggap sebagai kegiatan khas manusia. Pada 1997, Deep Blue buatan IBM mengalahkan juara catur dunia, Garry Kasparov. Kontestan terbaik yang pernah ada di Jeopardy!, Ken Jennings, menyerah kepada Watson buatan IBM pada 2011. Dan, saat itu mobil-mobil self-driving buatan Google sudah meluncur di jalan-jalan California. Dale Earnhardt Jr. tidak perlu merasa terancam oleh mobil-mobil itu, tetapi Guardian (atas nama jutaan supir di dunia) mengkhawatirkan bahwa mobil-mobil self-driving "dapat memicu gelombang pengangguran baru".

Semua orang mengharapkan komputer berbuat lebih banyak di masa mendatang--begitu banyak sehingga sebagian orang ingin tahu: 30 tahun dari sekarang, apakah ada yang masih harus dikerjakan oleh manusia? "Perangkat lunak tengah menggerogoti dunia," demikian kata pemodal ventura, Marc Andreessen. Pemodal ventura, Andy Kessler, terdengar sangat bersemangat sewaktu menerangkan bahwa cara terbaik untuk menciptakan produktivitas adalah "menyingkirkan manusia". Forbes memilih untuk bersikap lebih cemas ketika media itu bertanya kepada pembacanya: Apakah mesin akan menggantian Anda?

Kaum futuristik tampaknya bisa berharap bahwa jawaban pertanyaan itu adalah ya. Para penganut Luddisme begitu cemas soal kemungkinan digantikan sehingga menurut mereka lebih baik kita berhenti membangun teknologi baru sama sekali. Tidak satu pun dari kedua kubu itu meragukan dasar pemikiran bahwa komputer yang lebih baik akan harus menggantikan pekerja-pekerja manusia. Padahal, dasar pemikiran itu keliru: komputer adalah pelengkap bagi manusia, bukan pengganti. Bisnis yang paling bernilai dalam dasawarsa mendatang akan dibangun oleh para pengusaha yang berusaha memberdayakan orang, bukannya mencoba menjadikan mereka tak lagi berguna.

-----
dari buku ZERO TO ONE, MEMBANGUN STARTUP MEMBANGUN MASA DEPAN - Peter Thiel bersama Blake Masters

The Life-Changing Magic Of Tidying Up; Memulai Berbenah Berarti Membuka Lembaran Hidup Baru


Pernahkah Anda tidak bisa belajar pada malam sebelum ujian dan lantas mulai beres-beres dengan kalut? Saya akui saya pernah. Malahan, saya sering melakukan itu. Saya kumpulkan tumpukan fotokopian di atas meja dan lantas membuang semuanya ke tempat sampah. Lalu, karena tidak bisa berhenti, saya ambil buku-buku pelajaran dan kertas yang berserakan di lantai dan mulai menatanya di rak. Akhirnya, saya membuka laci meja, kemudian menata pulpen serta pensil di dalamnya. Ketika saya melirik jam, ternyata sudah pukul 02.30 pagi. Ketiduran karena dilanda kantuk, saya mendadak terbangun saat sudah pukul 05.00 padi dan baru saat itulah, dalam keadaan panik, saya membuka buku pelajaran dan meneguhkan hati untuk belajar.

Saya mengira hanya saya yang kerap berhasrat untuk beres-beres sebelum ujian, tetapi setelah bertemu sekian banyak orang yang berbuat begitu juga, saya tersadar bahwa fenomena itu lazim terjadi. Banyak orang yang tergugah untuk beres-beres selagi di bawah tekanan, misalkan sebelum ujian. Namun, hasrat itu muncul bukan karena mereka ingin merapikan kamar. Penyebabnya ialah mereka perlu membenahi "sesuatu". Otak mereka sesungguhnya ingin belajar, tetapi ketika melihat ruangan yang acak-acakan, fokus mental bergeser ke "aku perlu merapikan kamar". Kenyataannya bahwa hasrat untuk berbenah jarang sekali terus membara sesudah krisis usai membuktikan kebenaran teori saya. Sehabis ujian, semangat untuk beres-beres yang ada malam sebelumnya kontan padam dan kehidupan kembali seperti sediakala. Kesannya seolah-olah keinginan berbenah telah terhapus dari benak kita. Kenapa? Karena masalah yang mengemuka--keharusan belajar untuk ujian, dalam hal ini--telah "dibereskan".

Tentu saja, bukan berarti bahwa membenahi kamar ampuh untuk menenangkan pikiran yang resah. Sekalipun kegiatan itu mungkin bermanfaat guna menjernihkan benak Anda untuk sementara, rasa lega takkan tahan lama karena penyebab kegelisahan Anda yang sebenarnya belum ditangani. Jangan sampai Anda terkelabui oleh rasa lega yang muncul selepas merapikan sekeliling Anda karena, jika demikian, Anda takkan pernah menyadari pentingnya membenahi aspek psikologis Anda. Ini benar-benar terjadi pada diri saya. Gara-gara merasa "perlu" membereskan kamar, perhatian saya selalu teralihkan sehingga saya tidak kunjung belajar, alhasil nilai-nilai saya selalu jelek.

Mari kita bayangkan sebuah kamar yang berantakan. Kamar itu tidak acak-acakan dengan sendirinya. Yang membuat kamar itu berantakan adalah Anda, orang yang menghuninya. Konon, "kamar yang berantakan adalah cermin dari pikiran yang berantakan". Menurut saya begini. Ketika sebuah ruangan menjadi berantakan, penyebabnya bukan persoalan fisik belaka. Situasi acak-acakan yang bisa dilihat dengan mata mengalihkan perhatian kita dari akar masalah yang sesungguhnya. Kebiasaan berantakan sejatinya adalah refleks instingtif untuk mengalihkan perhatian kita dari pokok permasalahan supaya kita tidak perlu menghadapinya.

Jika Anda tidak bisa merasa santai di ruangan yang bersih dan rapi, cobalah selami kegelisahan Anda. Siapa tahu Anda bisa menemukan apa yang sebenarnya merisaukan Anda. Ketika kamar Anda tertata rapi, Anda tidak punya pilihan selain menekuni batin Anda. Anda bisa melihat persoalan apa saja yang selama ini Anda hindari dan mau tidak mau mesti menghadapinya. Begitu Anda mulai berbenah, lembaran baru dalam hidup Anda niscara akan terbuka. Hasilnya, hidup Anda akan ikut berubah. Itulah sebabnya, Anda perlu merapikan rumah dengan cepat. Dengan demikian, Anda bisa segera menghadapi persoalan-persoalan yang benar-benar penting. Berbenah adalah sarana, bukan tujuan akhir. Tujuan sejati kita adalah merumuskan gaya hidup yang betul-betul kita inginkan begitu rumah kita sudah rapi dan teratur.

-----
dari buku The Life-Changing Magic Of Tidying Up - Marie Kondo
#1 New York Times best seller
"Bukan sekadar bicara tentang membuang atau menata barang, buku ini bahkan bisa mengubah hidup Anda." --Dee Lestari, penulis